FRONT MAHASISWA NASIONAL CABANG JOMBANG

Sabtu, 12 Desember 2009

Kita Belum Merdeka Part 2

 Rakyat Indonesia Berjuang Melawan Fasisme Jepang

Pertama kali yang dilakukan Jepang pada awal kekuasaannya adalah melarang adannya segala macam organisasi. Jepang kemudian membentuk organisasi Tiga A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia) yang dipimpin oleh A. Samsudin seorang Nasionalis Modern dari PArindra yang sangat bersimpati dengan Jepang.
Selain itu Jepang juga membentuk organisasi semi-militer Seinendan dan Keibodan, kemudian Jepang juga membentuk PETA (Pembela Tanah Air) yang dibangun sebagai alat penjinak bagi kaum Fasis, sehingga daidanco (komandan batalyon) direkrut dari kalangan feudal yang telah teruji kesetiaannya.
Penderitaan rakyat begitu besar akibat penjajahan Jepang, bahkan disebutkan bahwa penderitaan rakyat jauh lebih berat di banding era kekuasaan kolonialis Belanda. Rakyat di tindas dan di mobilisasi untuk kepentingan perang kaum fasis Jepang, jutaan rakyat dipaksa untuk menjadi romusha, tanah-tanah pertanian dipaksa untuk ditanami jarak sebagai bahan bakar pesawat. sehingga tidak heran penghidupan rakyat menurun drastis, produksi makanan menurun, kematian akibat kelaparan setiap hari terjadi. Penderitaan ini tidak hanya dialami oleh petani, bahkan klas menengah dan sebagian klas atas pun mengalami hal yang sama. Dendam yang begitu besar terhadap kekuasaan Jepang membuat semua klas dalam masyarakat ikut ambil bagian dalam Revolusi Agustus 1945.


Jika kita menggali lagi makna proklamasi kemerdekaan RI atau dikenal juga sebagai babak Revolusi Agustus ’45, sesungguhnya mengandung tuntutan perubahan dari rakyat Indonesia untuk menghancurkan kolonialisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia. Artinya, hakekat dari Revolusi Agustus ’45 sesungguhnya adalah perjuangan demokratis nasional untuk mencapai Indonesia baru yang demokratis dan merdeka sepenuhnya, lepas dari belenggu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

Sebelum pecah Revolusi Agustus ’45 kaum buruh dan kaum tani telah memberikan perlawanan sengit terhadap kaum kolonial fasis Jepang. Perlawanan luar biasa diberikan kaum tani, karena politik Jepang untuk memobilisasi kebutuhan pangan untuk perang dan kerja paksa Romusha telah membawa kerugian yang luar biasa terhadap kaum tani. Selama kekuasaan Jepang, sektor pertanian dan perkebunan terbengkalai sama sekali. Sawah dan ladang berubah menjadi padang ilalang. Desa-desa yang biasanya ramai menjadi sunyi senyap. Produksi beras merosot sampai 25%, produksi karet lebih dari 80%, produksi kopi 70%, teh 90%, minyak kelapa sawit k.l.75%.

Kaum tani pun bangkit melawan. Kaum tani Pancurbatu (Sumatra timur) membuka sejarah perlawanan ini. Perlawanan dimulai pada Juli 1942, tak lama setalah Jepang melakukan pendaratan. Perlawanan disebabkan pihak Jepang bersekongkol dengan beberapa sultan merebut tanah garapan kaum tani. Bulan November 1942, meletus pemberontakan kaum tani di Cut Pilieng Aceh. Pemberontakan ini memang mampu diredam Jepang, tetapi itu dilalui dengan susah payah dan jatuhnya korban yang tidak sedikit dari pihak Jepang. Sekalipun demikian, kaum tani Aceh tidak menyerah kalah. Pemberontakan selanjutnya disusul oleh kaum tani di Pandrah (kabupaten Biureun).

Ini menunjukkan bahwa kaum tani sangat berkepentingan atas hengkangnya kolonialisme, sehingga mereka melakukan perlawanan yang sengit sejak kaum penjajah menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini ratusan tahun yang lalu. Mengapa demikian? Karena kolonialisme berpadu dengan sistem feodalisme yang ada untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari jerih payah kaum tani yang mengelola sumber-sumber kekayaan bumi Indonesia dari tanah garapannya.

Di Jawa, pemberontakan kaum tani dimulai bulan Oktober 1943. Pemberontakan disebabkan tindakan penguasa Jepang yang merampas hasil panen kaum tani. Pemberontakan berhasil ditindas, tapi tak lama berselang, meletus pemberontakan lagi. Perlawanan kaum tani tersebut terjadi di Indramayu, Februari 1944. Disusul pemberontakan kaum tani Sukamanah, distrik Singaparna, kabupaten Tasikmalaya (Priangan Timur). Di Kalimantan Barat juga timbul pemberontakan di Kabupaten Sanggup pada Mei 1945. Kaum pemberontak bahkan berhasil mendesak mundur tentara Jepang hingga ke pantai. Pemberontakan juga dilakukan oleh PETA pada 14 Februari 1945 di bawah pimpinan syudanco Supriyadi komandan daindan PETA dari Blitar.

Dengan keadaan yang sangat sulit, perlawanan dengan organisasi bawah tanah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari, pembentukan Geraf yang keanggotaannya tersebar cukup luas di Indonesia, Geraf dipimpin secara nasional oleh Amir Syarifuddin, Pamudji, Sukajat, Widarta dan Armunanto dengan Dr Cipto Mangunkusumo sebagai Penasehat. selain Geraf, di Indonesia juga ada Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka). Baik Geraf maupun Gerindom berisi pemuda-pemuda yang memiliki jiwa patriotik dengan pengabdian kepada rakyat begitu besar.

Saat itu kekuatan Fasis mulai terdesak dalam berbagai pertempuran, di Indonesia, Jepang juga melihat keadaan yang sudah tidak menguntungkan mereka sehingga sikap mereka kepada bangsa Indonesia juga mulai melunak, bahkan pada September 1944 Perdana menteri Jepang Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Bulan April 1945 di bentuk Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara situasi perang semakin menunjukkan kekalahan yang tidak bisa dihindari oleh blok Fasis termasuk Jepang, sehingga tanggal 7 Agustus 1945 di bentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jenderal Terauchi dari Jepang menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia akan di berikan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyatakan diri menyerah.

Situasi ini dimanfaatkan oleh gerakan bawah tanah yang terus mempersiapkan perlawanan untuk saling berunding dan berhubungan, situasi dimanfaatkan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankannya apapun taruhannya, Merdeka atau Mati adalah harga dan semboyan yang tidak bisa di ganggu gugat.

Gerakan rakyat pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 semakin bersemangat, Pemuda Indonesia dengan antusias mengorganisasikan diri dalam API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas di Menteng 31, bahkan dari Menteng 31 ini juga dilahirkan satu program dasar bagi revolusi Indonesia yaitu :
1. Negara Indonesia telah berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Semua kekuasaan harus berada di tangan Negara dan bangsa Indonesia.
3. Jepang sudah kalah, dan tidak ada hak lagi menjalankan kekuasaan di bumi Indonesia.
4. Rakyat Indonesia harus merebut senjata dari tangan Jepang.
5. Semua perusahaan (kantor, pabrik, pertambangan, perkebunan dll) harus direbut dan dikuasi oleh rakyat Indonesia dari tangan Jepang.
Program ini kemudian disebarkan secara luas, terutama oleh pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja di kantor penerangan “Domei” (Sekarang Antara).

Di masa awal kemerdekaan, para pemuda dan kaum buruh bersatu padu untuk menduduki dan menguasasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia. Pada awal bulan September 45, jawatan kereta api diambil alih mulai dari Bengkel Manggarai, depo-depo Jatinegara, Tanah abang, Bukitduri, stasiun Jakarta Kota, Gambir, Tanjungpriok, Senen, Manggarai dan Tanah Abang. Hal ini kemudian meluas ke seluruh daerah-daerah lain di Indonesia.

Sesudah jawatan kereta api, jawatan-jawatan lain juga direbut oleh kaum buruh. Di Jakarta, jawatan pos, telegraf dan telepon, perusahaan listrik dan gas, jawatan radio, pelabuhan dan sebagainya diambil alih. Gedung-gedung instansi dan tempat tinggal para pembesar Jepang, juga tidak luput dari aksi tersebut. Semua bangunan yang telah diambil alih ditempeli bendera kertas merah-putih dengan tulisan “Milik Republik Indonesia”. Selain itu, para pembesar Jepang juga ditendang dan digantikan oleh pegawai-pegawai Indonesia, seperti Suwirjo yang menjadi walikota pertama Jakarta di era kemerdekaan yaitu pada 29 September 1945.

Sesudah gerakan pengambilalihan jawatan dan gedung, mulai didirikan berbagai organisasi buruh, sesuai dengan jenis pekerjaan. Di lingkungan jawatan kereta api, lahir Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Di lingkungan jawatan PTT (Pos dan Telekomunikasi) lahir Serikat Buruh Postel dan sebagainya. Awal Revolusi Agustus, organisasi buruh bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Berbagai serikat buruh itu dikoordinasikan oleh Barisan Buruh Indonesia yang didirikan di markas Menteng 31 (kini Gedung Juang ’45) yang dipimpin Njono. Barisan Buruh Indonesia inilah yang berkembang menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) di kemudian hari.

Kaum tani pun tidak ketinggalan menceburkan diri dalam gairah Revolusi Agustus ’45. Gerakan melawan tuan tanah dan pengambilalihan perkebunan-perkebunan milik kaum kolonial meluas di pedesaan. Di Sumatra timur (Medan dan sekitarnya), rakyat (kaum tani) bangkit melawan tentara NICA Belanda yang didukung bangsawan feodal setempat. Semua tanah onderneming asing dirampas dan dijadikan sawah, ladang serta perkampungan. Tuan-tuan tanah (Sultan-sultan lokal) pembangkang yang berpura-pura mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI tetapi dibalik itu menunggu bantuan NICA dan sekutu untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa tanah, tidak luput dari sasaran perjuangan kaum tani.

Peristiwa di Sumatra timur berlangsung dari Februari-Maret 1946 dan kemudian merembet ke daerah Tapanuli dan Sumatra Barat. Hal yang sama juga terjadi di berbagai daerah seperti Peristiwa Tiga Daerah (Pemalang, Pekalongan dan Tegal), Perang Cumbok di Aceh, Perlawanan terhadap kekuasaan Kasultanan Surakarta, dan berbagai peristiwa serupa yang menandaskan perlawanan kaum tani melawan kaum tuan tanah yang didukung kolonial Belanda dan sekutu. Keterlibatan kaum tani disandarkan pada kenyataan kaum tani sebagai lapisan yang paling berat menderita akibat dominasi kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme. Kaum tani juga yang paling bergairah dalam menghadapi musuh-musuh kemerdekaan selama berkobarnya Revolusi Agustus ‘45.

Revolusi Agustus ’45 sesungguhnya sebuah perjuangan pembebasan nasional berwatak anti imperialisme dan anti feodalisme yang bersandar pada kekuatan buruh dan tani dengan sokongan utama kekuatan pemuda melalui jalan perjuangan perang gerilya. Namun perjuangan yang ditempuh ini mendapatkan hambatan dari “musuh dalam selimut” dari para borjuasi komprador yang lebih memilih “jalan diplomasi” yang banyak memberikan kerugian bagi rakyat Indonesia selama berlangsungnya Revolusi Agustus ’45.




0 komentar: