Megawati dan kini rejim SBY-Boediono, kesejahateraan rakyat dan kedaulatan nasional negeri ini masih tercabik-cabik. Mayoritas rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.
Upah buruh tetap saja minim, jam kerja tetap panjang, PHK terus saja terjadi, bahkan kini ditambah dengan pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourching. Kaum tani masih terus berhadapan dengan perampasan tanah, bagi hasil yang tidak adil, sewa tanah yang cukup tinggi, praktek tengkulak yang merajalela, upah buruh tani yang rendah, hingga menurunnya produktivitas pertanian. Kaum pemuda dan mahasiswa, harus menghadapi semakin mahalnya biaya pendidikan serta angka pengangguran yang terus meninggi. Kaum perempuan belum mendapatkan hak kesetaraannya dan terus dieksploitasi secara fisik untuk kepentingan bisnis. Ini semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik bagi rakyat.
Apalagi dalam keadaan dunia yang saat ini dihantam krisis yang begitu akut, krisis Keteguhan Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan di Khianati Oleh Praktek Kapitulasionisme (Menyerah Diri) Borjuasi Komprador Dalam Negeri.
Keteguhan rakyat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam revolusi Agustus 1945, sesungguhnya tidak hanya perang melawan penjajahan Belanda yang berusaha kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan pasukan sekutu. Lebih jauh dari itu praktek pengkhianatan oleh borjuasi komprador dengan cara berkompromi dengan imperialisme senyatanya telah membawa bangsa Indonesia kembali dalam lingkaran penjajahan. Borjuasi komprador selalu mengatasnamakan perjuangan dengan jalur diplomasi, akan tetapi kenyataannya setiap ada perjanjian antara Indonesia dengan Belanda, selalu saja Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Bahkan praktek yang dilakukan oleh borjuasi komprador adalah dengan menghancurkan kekuatan kaum progresif yang senantiasa membela kepentingan revolusi agustus.
Perjuangan tidak kenal takut dan berbagai pertempuran yang heroik dari para pemuda dan rakyat Indonesia terjadi di berbagai daerah seperti Peristiwa Magelang, Ambarawa (Palagan Ambarawa), Pertempuran 5 hari Semarang, peristiwa Surabaya (10 Nopember), peristiwa Bandung (Bandung Lautan Api), ataupun Pertempuran Medan Area dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan pada dunia, bahwa rakyat Indonesia bersatu hati membela kemerdekaannya. Itulah sebabnya, Revolusi Agustus ‘45 mendapat simpati semua orang berhati jujur dan berpikiran maju.
Akan tetapi, perjuangan rakyat yang gigih dan sengit itu, mendapatkan tentangan dari bangsa sendiri yang menjadi boneka imperialisme di dalam negeri yang ironisnya banyak duduk di pemerintahan. seperti Sjahrir sejak awal revolusi Agustus menabur benih keragu-raguan di kalangan massa rakyat, dalam prakteknya Syahrir seringkali terlalu percaya pada jalan diplomasi dan bahkan memiliki kecenderungan mengharap iba dari kaum penjajah. Sejak pertengahan November 1945 hingga awal Juli 1947, Sutan Sjahrir memimpin pemerintahan RI sebagai Perdana Menteri (PM) tiga kali berturut-turut. Selama masa kekuasaan Sjahrir, sifat ofensif yang merupakan salah satu faktor terpenting untuk membawa maju revolusi secara lambat laun, beralih ke sifat defensif yang berakibat fatal.
Hal ini dibuktikan dengan disepakatinya Perundingan Linggarjati 1947 yang berakibat pada agresi militer Belanda ke I. Perjanjian tersebut mencerminkan praktek kapitulasi borjuasi komprador terhadap kaum kolonialis dan melemahkan kebangkitan gerakan massa rakyat yang tengah bergelora. Daerah-daerah kekuasaan yang telah direbut semakin dipersempit dan diserahkan kepada Belanda dan konsekuensi dari perundingan yang harus ditanggung cukup berat, termasuk melucuti persenjataan bala tentara dan laskar-laskar rakyat, yang seharusnya dipertahankan demi terusirnya kaum penjajah dari bumi Indonesia.
Praktek-praktek kapitulasionalis juga dilanjutkan dlam pemerintahan Hatta yang menjabat PM sejak Januari 1948 setelah menjatuhkan kabinet Amir Syarifuddin, kemudian Hatta memberlakukan program “Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra)” pada Maret 1948. Kebijakan Re-Ra pada kenyataannya justru menghancurkan kekuatan bersenjata laskar-laskar rakyat, pemuda, bala tentara berpikiran maju dan kekuatan progresif lainnya.
Akibatnya program Re-Ra Hatta tidak diterima di seluruh tubuh TNI dan memunculkan banyak pertentangan dari golongan yang berada di medan pertempuran sebenarnya. Salah satu yang menolak adalah Divisi IV Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto yang bermarkas di Solo. Program ini ditentang dengan alasan yang sangat masuk akal “Mengadakan rasionalisasi dalam lingkungan angkatan bersenjata pada saat Belanda memperbesar angkatan perangnya, itu sama saja dengan politik melucuti diri sendiri” dan ini sama saja dengan bunuh diri.
Divisi IV Panembahan Senopati melangsungkan demonstrasi penolakan Re-Ra di Surakarta yang mendapat dukungan luas dari rakyat Surakarta, Demonstrasi dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 1948. Tapi pada tanggal 3 Juli 1948 kolonel Sutarto di tembak saat berada di depan rumahnya oleh pasukan dari Divisi Siliwangi. Tindakan ini kemudian berujung dengan tindak kekerasan dan penumpasan laskar progresif rakyat di banyak wilayah termasuk di dalamnya laskar di madiun, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tanggal 21 Juli 1948 bahkan diadakan pertemuan tertutup di Sarangan di lereng timur Gunung Lawu) yang dihadiri 2 orang perwakilan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan 6 orang perwakilan pemerintah Indonesia. Sarangan (Wakil pemerintah AS adalah Gerard Hopkins (penasehat urusan politik luar negeri presiden Truman) dan H. Mevle Cochran (wakil AS dalam Komisi Jasa-jasa Baik yang ditugaskan untuk mengawasi perundingan-perundingan antara Belanda dengan Indonesia). Perwakilan RI adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden merangkap PM Mohammad Hatta, Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, Menteri penerangan Moh. Natsir, Mohammad Roem dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto.
Dalam pertemuan itu, dibicarakan apa yang dikenal dengan “red drive proposals”. Proposal ini berisi rencana dari imperialisme AS untuk membasmi kaum progresif Indonesia yang disetujui oleh pemerintahan Hatta. Ketika berita-berita mengenai konferensi yang mengambil keputusan jahat terhadap rakyat Indonesia itu diumumkan dalam beberapa majalah, surat kabar dan brosur-brosur, tidak ada sepatah pun bantahan dari pihak yang bersangkutan. Bahkan tidak ada bantahan ketika disiarkan berita bahwa sebagai imbalan pelaksanaan red drive proposals, pemerintah Hatta menerima uang sebesar $ 56 juta dari State Department AS lewat Biro Konsultasi AS di Bangkok.
Setealah itu serangkaian kebijakan yang sangat merugikan perjuangan rakyat Indonesia dijalankan. Kekuatan progresif rakyat di hancurkan lewat berbagai kebijakan dan tindakan yang sangat memundurkan kualitas perjuangan bangsa Indonesia. Gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diserbu dan diduduki oleh tentara. Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Polisi Bojonegoro pimpinan Asmaun dilucuti. Sementara itu, pemogokan kaum buruh Delanggu (Surakarta) yang berlangsung 27 Mei-30 juni 1948 dan diikuti lebih dari 30.000 orang menuntut perbaikan nasib, ditindas dengan kekerasan. Di saat bersamaan, pemerintah Hatta justru mengirim Kepala Kepolisian RI ke AS. Bahkan Tepat 17 Agustus 1948, eks pengikut Tan Malaka yang ditawan karena peristiwa 3 Juli ’46, dikeluarkan dari penjara yang akhirnya justru ikut menghancurkan kekuatan progresif yang ada.
Peristiwa 3 Juli 1946 sendiri merupakan sebuah peristiwa penculikan terhadap Mr. Amir Syarifuddin yang saat itu menjabat Menteri Penerangan dan Pertahanan, peristiwa ini diawali penculikan terhadap PM Sjahrir dan sejumlah menteri kabinet pada 27 Juni 1946 yang dipimpin Tan Malaka melalui “Persatuan Perjuangan” yang dipimpinnya. Tapi usaha kudeta terselubung dari Tan Malaka tersebut, mampu digagalkan oleh laskar pemuda paling patriotis dan pemberani yaitu laskar Pesindo.
Puncaknya adalah Peristiwa Madiun September 1948. Kejadian ini terlebih dahulu diawali insiden berdarah di Surakarta (Solo), dimana Divisi IV Panembahan Senopati dijadikan bumper sasaran tembak peluru Divisi Siliwangi yang merupakan binaan Hatta. Penangkapan besar-besaran kemudian terjadi terhadap para pemuda dan kaum progresif lainnya, banyak diantara mereka dieksekusi mati tanpa proses peradilan. Penangkapan, pengejaran dan pembunuhan terjadi di Jogja, Pati, Cepu, Blora, Kediri, Malang Selatan, dan daerah-daerah lainnya. Di Malang terjadi pembunuhan massal yang jenazahnya dikuburkan di daerah Malang Selatan.
Kaum muda yang tergabung dalam laskar Pesindo adalah korban terbesar dari politik keji Hatta, salah satu yang jadi korbannya adalah Komandan PLTD (Pimpinan Laskar Jawa Timur) bernama Jusuf Bakri. Begitu juga dengan Mr. Amir Sjarifuddin dan 10 kawannya yaitu Maruto Darusman, Suripno, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Oei Gee Hwat, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku. Musso pimpinan PKI ketika itu, turut menjadi korban penembakan pasukan Hatta pimpinan Kolonel Gatot Subroto. Operasi keji dan penuh darah oleh Hatta melalui provokasi Madiun 1948, telah banyak menggugurkan putra-putra terbaik negeri ini, termasuk kaum pemuda pemberani yang dengan tulus, jujur dan sepenuh hati mengabdi kepada Revolusi Agustus ’45 untuk mengusir kembali kaum kolonialis Belanda yang disokong imperialis AS.
Tindakan ini akhirnya menumpulkan sebagian besar kekuatan progresif rakyat yang terus melawan kembalinya Belanda ke Indonesia. Pasca provokasi Madiun, terjadi agresi militer Belanda II, Desember 1948. Serangan ini berhasil menduduki ibukota Negara Yogyakarta dan menahan pimpinan tertinggi Indonesia : Soekarno, Hatta, Sjahrir dan KH Agus Salim di bawah tawanan Kol. Van Langen.
Ibukota Indonesia dan Kota-kota lainnya boleh diduduki Belanda, akan tetapi kekuasaan Kolonial tidak pernah mampu menaklukkan desa dan pinggiran kota. Pasca pendudukan Belanda, Kaum tani di pinggiran kota dan di daerah pedesaan serentak tidak mau menjual bahan makanan termasuk beras ke kota. Uang NiCA tidak berlaku bagi rakyat dan kaum tani, yang berlaku hanyalah uang RI, aksi tersebut mengakibatkan Yogyakarta kekurangan bahan makanan. Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Semarang yang datang dengan diangkut konvoi bersama pengawalan yang sangat ketat. Kekuasaan Belanda hanya berlaku di kota, di samping terus melakukan perlawanan dengan tidak mau menjual hasil tani ke Belanda, kaum tani juga dengan sukarela menyediakan rumah mereka untuk pasukan gerilya RI. Kaum tani bahkan dengan gembira menyediakan bahan makanan bagi para pejuang kemerdekaan.
Disisi lain eks-eks tawanan peristiwa Madiun yang selamat tidak tinggal diam. Mereka membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap kaum aggressor Belanda, sehingga muncul kembali pasukan-pasukan rakyat bersenjata yang terus melanjutkan perang gerilya. Jumlah mereka semakin hari semakin besar, persenjataan juga semakin bertambah banyak. Senjata diperoleh dari pertempuran-pertempuran melawan patroli Belanda atau melecuti pasukan lain yang melarikan diri karena dikejar Belanda.
Pasukan ini muncul terutama di sekitar ibukota Jogjakarta, Kedu, Semarang (di daerah Salatiga), Pati, Surakarta (antaranya di kompleks Merapi-Merbabu), Madiun, Kediri (antaranya daerah Blitar Selatan dengan “batalyon Brantas”-nya), Malang (terutama di kompleks Gunung Kawi), dan lain-lainnya. Keistimewaan dari pasukan-pasukan rakyat ini, anggota-anggotanya mempunyai kesadaran politik yang tinggi dan pada umumnya berasal dari kaum tani, karena itu tidak heran jika mereka tidak pernah canggung bergerak di tengah-tengah massa luas.
Salah satu aktivitas dari pasukan rakyat ini adalah apa yang terjadi di sekitar Jogjakarta ketika Belanda sudah menduduki kota tersebut. Setelah sepuluh hari Belanda menduduki Jojga, Pasukan RI yang diperkuat pasukan dari laskar-laskar Rakyat mulai melancarkan serangan balasan pertamanya. Diantara laskar rakyat tersebut, pasukan-pasukan eks laskar pesindo juga turut serta, termasuk dalam serangan balasan 9 Januari 1949. Dalam kedua serangan balasan tersebut, pasukan Belanda dijangkiti kepanikan yang luar biasa. Pasukan-pasukan bersenjata RI bersama pasukan bersenjata rakyat berhasil menyerbu sampai ke tengah-tengah kota. Hal Ini diikuti kemudian dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang berhasil menduduki kembali ibukota Negara Yogyakarta selama 6 jam dan disiarkan ke luar negeri bahwa Republik Indonesia masih tegak berdiri.
Menghadapi perlawanan yang semakin luar biasa dari rakyat Indonesia, kaum imperialis dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan pemerintah RI yang terdiri dari komprador-komprador dengan memberikan konsesi-konsesi, atau memilih melanjutkan peperangan melawan kekuatan progresif Indonesia dan yang pasti akan melancarkan perang pembebasan sampai kemenangan terakhir dan Merdeka sepenuhnya, tidak peduli berapapun lamanya. Kaum imperialis tidak memiliki pilihan lain, selain yang pertama.
Tanggal 14 April 1949, di Jakarta diadakan perundingan antara Muhammad Roem dari Indonesia dan Van Royen atau dikenal dengan perundingan Roem-Royen. Tanggal 7 Mei 1949, lahir kesepakatan bersama bahwa Indonesia menghentikan perang gerilya, bersedia kerja sama untuk mengatur perdamaian dan keamanan serta bersedia mengadakan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda. Sebaliknya, pihak Belanda akan mengembalikan kekuasaan Republik Indonesia, membebaskan orang-orang yang ditawan sejak 17 Desember 1948 dan berjanji tidak akan mendirikan “negara-negara” baru di luar yang sudah didirikan sebelum perang kolonial kedua. Pertemuan ini tidak terlepas dari intervensi imperialis AS melalui Marle Cochran.
Nasehat-nasehat Cochran dalam pertemuan tersebut sangat menentukan hasil perundingan. Belanda sendiri pasca PD II mendapat bantuan dari AS dalam jumlah yang sangat besar. Tanpa bantuan sebesar $ 469.000.000 via Marshal Plan dan $ 140.000.000 dari World Bank, mustahil Belanda mampu memelihara pasukan yang begitu besar di Indonesia untuk melancarkan perang kolonial (Agresi) pertama dan kedua. Sementara pemerintah RI justru sibuk berilusi bahwa imperialis AS dalam menengahi sengketa Belanda-RI akan lebih berpihak pada RI, di lain sisi AS juga memberi iming-iming ke Indonesia bantuan materiil berupa bantuan keuangan.
Kemunduran besar bagi perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia dalam Revolusi Agustus ’45, terjadi ketika diselenggarakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Perjanjian KMB ditandatangani Belanda, RI dan 15 “negara” dan “daerah-daerah istimewa” boneka bentukan Belanda atau BFO (Bijenkomst Federale Overleg). Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia telah lahir suatu negara baru, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara baru ini mengadakan ikatan melalui Uni Indonesia-Kerajaan Belanda. Kepala Uni ini adalah ratu Belanda, Pemerintah Indonesia melalui Hatta justru menggembor-gemborkan hal tersebut sebagai “kemenangan besar”.
Akibat KMB, Indonesia dipaksa untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada kerajaan Belanda dan Negara Imperialis lainnya. Jumlah yang harus dibayar tidak kurang dari 4.300.000.000 Florin (Gulden) atau sama dengan $ 300.000.000, yang artinya Indonesia juga harus membayar biaya perang Belanda dalam agresi I dan II. Hal ini sama saja dengan membayar ongkos pemeliharaan tentara Belanda dalam upayanya menjajah dan menindas rakyat Indonesia.
Sesuai dengan perjanjian KMB, semua milik kaum modal asing (Belanda dan yang lain-lain, kecuali Jepang dan Jerman) tidak boleh diganggu gugat dan harus mendapatkan perlindungan sebaik-baiknya dari Indonesia. Milik kaum imperialis tersebut meliputi perusahaan-perusahaan perkebunan, berbagai macam pabrik, tambang pengangkutan, perbankan, pusat-pusat tenaga pembangkit listrik dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, pihak Indonesia dipaksa memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada modal monopoli asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia.
Perjanjian KMB hakekatnya pukulan balik yang mematikan bagi perjuangan pembebasan nasional rakyat Indonesia yang dilalui dengan tetesan darah, jiwa dan pengorbanan yang begitu besar. Kaum borjuasi komprador seperti Hatta dan Syahrir sesungguhnya telah mengkhianati cita-cita mulia Revolusi Agustus ’45. Tetapi Rakyat tidak pernah diam saja atas politik avonturir dan kapitulasionis Hatta-Syahrir yang sangat merugikan rakyat. Sejak dimulainya perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk mempersiapkan KMB dan sesudah perjanjian KMB dilaksanakan, banyak pendapat yang menentang bahkan memicu aksi-aksi perlawanan rakyat. Ketika persetujuan Roem-Royen diumumkan, sebuah surat kabar Jakarta (Harian Merdeka) menulis bahwa Indonesia telah menderita kekalahan dan kekalahan itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Untuk menjamin keamanan perusahaan-perusahaan modal monopoli asing di Indonesia, pemerintah membuat sebuah undang-undang perburuhan yang anti buruh lewat Menteri perburuhan Tedjakusuma. Kalangan buruh kala itu menyebutnya sebagai “Undang-undang Tedjakusuma”. Berdasarkan undang-undang tersebut, kaum buruh yang akan mengadakan aksi harus memberitahukan 3 minggu sebelumnya. Pemerintah berhak memperpanjang batas waktu ini dan mempunyai hak veto dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara buruh dan majikan. Panitia arbitrase yang dibentuk atas dasar “Undang-undang Tedjakusuma” lebih banyak berpihak kepada majikan daripada melindungi kepentingan buruh.
KMB juga menghadapi perlawanan keras dari kaum tani. Ketika Jepang menduduki Indonesia, banyak onderneming-onderneming asing yang diubah menjadi tanah garapan kaum tani sebagai milik mereka sendiri. Selama Revolusi Agustus ’45, perkebunan-perkebunan milik kolonial itu banyak yang berubah menjadi pedesaan-pedesaan dengan tanah ladang, jalur-jalur lalu lintas, gedung-gedung sekolah dan lain-lainnya. Ketika perkebunan-perkebunan asing harus dikembalikan, sudah barang tentu kaum tani tidak mau menyerahkannya. Timbullah persengketaan berdarah, karena tentara dan brigade mobil polisi (Brimob) bersenjata ditugaskan mengusir kaum tani. Muncullah peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat memilukan dan tragis bagi kaum tani, seperti di peristiwa Tanjung Morawa Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (Karesidenan Kediri, Jawa timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah Bandar Betsy (Aceh) dan lain-lainnya.
Kekecewaan juga dialami oleh kalangan pemuda. Upaya menyatukan kekuatan pemuda melalui Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), bubar tidak lama setelah KMB berjalan. Laskar pemuda PESINDO dihancurkan melalui peristiwa Madiun. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman pun kecewa dengan adanya KMB. Tatkala dirinya dan bala tentara bergerilya melawan kaum kolonial Belanda, dilakukan perjanjian yang merugikan tersebut.
Jelas sudah bahwa semangat Revolusi Agustus ’45 untuk mengenyahkan kolonialisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, ternyata telah dinodai oleh pengkhianatan para boneka imperialisme AS di dalam negeri yang diwakili klik Hatta-Sjahrir yang disokong kelompok Natsir dan kelompok avonturir Tan Malaka. Situasi buruk dari pelaksanaan KMB dan tentangan terhadap KMB yang meluas dari rakyat Indonesia, akhirnya memaksa Soekarno mengumumkan Indonesia kembali lagi kepada NKRI pada tahun 1950.
Upah buruh tetap saja minim, jam kerja tetap panjang, PHK terus saja terjadi, bahkan kini ditambah dengan pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourching. Kaum tani masih terus berhadapan dengan perampasan tanah, bagi hasil yang tidak adil, sewa tanah yang cukup tinggi, praktek tengkulak yang merajalela, upah buruh tani yang rendah, hingga menurunnya produktivitas pertanian. Kaum pemuda dan mahasiswa, harus menghadapi semakin mahalnya biaya pendidikan serta angka pengangguran yang terus meninggi. Kaum perempuan belum mendapatkan hak kesetaraannya dan terus dieksploitasi secara fisik untuk kepentingan bisnis. Ini semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik bagi rakyat.
Apalagi dalam keadaan dunia yang saat ini dihantam krisis yang begitu akut, krisis Keteguhan Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan di Khianati Oleh Praktek Kapitulasionisme (Menyerah Diri) Borjuasi Komprador Dalam Negeri.
Keteguhan rakyat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam revolusi Agustus 1945, sesungguhnya tidak hanya perang melawan penjajahan Belanda yang berusaha kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan pasukan sekutu. Lebih jauh dari itu praktek pengkhianatan oleh borjuasi komprador dengan cara berkompromi dengan imperialisme senyatanya telah membawa bangsa Indonesia kembali dalam lingkaran penjajahan. Borjuasi komprador selalu mengatasnamakan perjuangan dengan jalur diplomasi, akan tetapi kenyataannya setiap ada perjanjian antara Indonesia dengan Belanda, selalu saja Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Bahkan praktek yang dilakukan oleh borjuasi komprador adalah dengan menghancurkan kekuatan kaum progresif yang senantiasa membela kepentingan revolusi agustus.
Perjuangan tidak kenal takut dan berbagai pertempuran yang heroik dari para pemuda dan rakyat Indonesia terjadi di berbagai daerah seperti Peristiwa Magelang, Ambarawa (Palagan Ambarawa), Pertempuran 5 hari Semarang, peristiwa Surabaya (10 Nopember), peristiwa Bandung (Bandung Lautan Api), ataupun Pertempuran Medan Area dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan pada dunia, bahwa rakyat Indonesia bersatu hati membela kemerdekaannya. Itulah sebabnya, Revolusi Agustus ‘45 mendapat simpati semua orang berhati jujur dan berpikiran maju.
Akan tetapi, perjuangan rakyat yang gigih dan sengit itu, mendapatkan tentangan dari bangsa sendiri yang menjadi boneka imperialisme di dalam negeri yang ironisnya banyak duduk di pemerintahan. seperti Sjahrir sejak awal revolusi Agustus menabur benih keragu-raguan di kalangan massa rakyat, dalam prakteknya Syahrir seringkali terlalu percaya pada jalan diplomasi dan bahkan memiliki kecenderungan mengharap iba dari kaum penjajah. Sejak pertengahan November 1945 hingga awal Juli 1947, Sutan Sjahrir memimpin pemerintahan RI sebagai Perdana Menteri (PM) tiga kali berturut-turut. Selama masa kekuasaan Sjahrir, sifat ofensif yang merupakan salah satu faktor terpenting untuk membawa maju revolusi secara lambat laun, beralih ke sifat defensif yang berakibat fatal.
Hal ini dibuktikan dengan disepakatinya Perundingan Linggarjati 1947 yang berakibat pada agresi militer Belanda ke I. Perjanjian tersebut mencerminkan praktek kapitulasi borjuasi komprador terhadap kaum kolonialis dan melemahkan kebangkitan gerakan massa rakyat yang tengah bergelora. Daerah-daerah kekuasaan yang telah direbut semakin dipersempit dan diserahkan kepada Belanda dan konsekuensi dari perundingan yang harus ditanggung cukup berat, termasuk melucuti persenjataan bala tentara dan laskar-laskar rakyat, yang seharusnya dipertahankan demi terusirnya kaum penjajah dari bumi Indonesia.
Praktek-praktek kapitulasionalis juga dilanjutkan dlam pemerintahan Hatta yang menjabat PM sejak Januari 1948 setelah menjatuhkan kabinet Amir Syarifuddin, kemudian Hatta memberlakukan program “Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra)” pada Maret 1948. Kebijakan Re-Ra pada kenyataannya justru menghancurkan kekuatan bersenjata laskar-laskar rakyat, pemuda, bala tentara berpikiran maju dan kekuatan progresif lainnya.
Akibatnya program Re-Ra Hatta tidak diterima di seluruh tubuh TNI dan memunculkan banyak pertentangan dari golongan yang berada di medan pertempuran sebenarnya. Salah satu yang menolak adalah Divisi IV Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto yang bermarkas di Solo. Program ini ditentang dengan alasan yang sangat masuk akal “Mengadakan rasionalisasi dalam lingkungan angkatan bersenjata pada saat Belanda memperbesar angkatan perangnya, itu sama saja dengan politik melucuti diri sendiri” dan ini sama saja dengan bunuh diri.
Divisi IV Panembahan Senopati melangsungkan demonstrasi penolakan Re-Ra di Surakarta yang mendapat dukungan luas dari rakyat Surakarta, Demonstrasi dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 1948. Tapi pada tanggal 3 Juli 1948 kolonel Sutarto di tembak saat berada di depan rumahnya oleh pasukan dari Divisi Siliwangi. Tindakan ini kemudian berujung dengan tindak kekerasan dan penumpasan laskar progresif rakyat di banyak wilayah termasuk di dalamnya laskar di madiun, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tanggal 21 Juli 1948 bahkan diadakan pertemuan tertutup di Sarangan di lereng timur Gunung Lawu) yang dihadiri 2 orang perwakilan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan 6 orang perwakilan pemerintah Indonesia. Sarangan (Wakil pemerintah AS adalah Gerard Hopkins (penasehat urusan politik luar negeri presiden Truman) dan H. Mevle Cochran (wakil AS dalam Komisi Jasa-jasa Baik yang ditugaskan untuk mengawasi perundingan-perundingan antara Belanda dengan Indonesia). Perwakilan RI adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden merangkap PM Mohammad Hatta, Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, Menteri penerangan Moh. Natsir, Mohammad Roem dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto.
Dalam pertemuan itu, dibicarakan apa yang dikenal dengan “red drive proposals”. Proposal ini berisi rencana dari imperialisme AS untuk membasmi kaum progresif Indonesia yang disetujui oleh pemerintahan Hatta. Ketika berita-berita mengenai konferensi yang mengambil keputusan jahat terhadap rakyat Indonesia itu diumumkan dalam beberapa majalah, surat kabar dan brosur-brosur, tidak ada sepatah pun bantahan dari pihak yang bersangkutan. Bahkan tidak ada bantahan ketika disiarkan berita bahwa sebagai imbalan pelaksanaan red drive proposals, pemerintah Hatta menerima uang sebesar $ 56 juta dari State Department AS lewat Biro Konsultasi AS di Bangkok.
Setealah itu serangkaian kebijakan yang sangat merugikan perjuangan rakyat Indonesia dijalankan. Kekuatan progresif rakyat di hancurkan lewat berbagai kebijakan dan tindakan yang sangat memundurkan kualitas perjuangan bangsa Indonesia. Gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diserbu dan diduduki oleh tentara. Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Polisi Bojonegoro pimpinan Asmaun dilucuti. Sementara itu, pemogokan kaum buruh Delanggu (Surakarta) yang berlangsung 27 Mei-30 juni 1948 dan diikuti lebih dari 30.000 orang menuntut perbaikan nasib, ditindas dengan kekerasan. Di saat bersamaan, pemerintah Hatta justru mengirim Kepala Kepolisian RI ke AS. Bahkan Tepat 17 Agustus 1948, eks pengikut Tan Malaka yang ditawan karena peristiwa 3 Juli ’46, dikeluarkan dari penjara yang akhirnya justru ikut menghancurkan kekuatan progresif yang ada.
Peristiwa 3 Juli 1946 sendiri merupakan sebuah peristiwa penculikan terhadap Mr. Amir Syarifuddin yang saat itu menjabat Menteri Penerangan dan Pertahanan, peristiwa ini diawali penculikan terhadap PM Sjahrir dan sejumlah menteri kabinet pada 27 Juni 1946 yang dipimpin Tan Malaka melalui “Persatuan Perjuangan” yang dipimpinnya. Tapi usaha kudeta terselubung dari Tan Malaka tersebut, mampu digagalkan oleh laskar pemuda paling patriotis dan pemberani yaitu laskar Pesindo.
Puncaknya adalah Peristiwa Madiun September 1948. Kejadian ini terlebih dahulu diawali insiden berdarah di Surakarta (Solo), dimana Divisi IV Panembahan Senopati dijadikan bumper sasaran tembak peluru Divisi Siliwangi yang merupakan binaan Hatta. Penangkapan besar-besaran kemudian terjadi terhadap para pemuda dan kaum progresif lainnya, banyak diantara mereka dieksekusi mati tanpa proses peradilan. Penangkapan, pengejaran dan pembunuhan terjadi di Jogja, Pati, Cepu, Blora, Kediri, Malang Selatan, dan daerah-daerah lainnya. Di Malang terjadi pembunuhan massal yang jenazahnya dikuburkan di daerah Malang Selatan.
Kaum muda yang tergabung dalam laskar Pesindo adalah korban terbesar dari politik keji Hatta, salah satu yang jadi korbannya adalah Komandan PLTD (Pimpinan Laskar Jawa Timur) bernama Jusuf Bakri. Begitu juga dengan Mr. Amir Sjarifuddin dan 10 kawannya yaitu Maruto Darusman, Suripno, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Oei Gee Hwat, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku. Musso pimpinan PKI ketika itu, turut menjadi korban penembakan pasukan Hatta pimpinan Kolonel Gatot Subroto. Operasi keji dan penuh darah oleh Hatta melalui provokasi Madiun 1948, telah banyak menggugurkan putra-putra terbaik negeri ini, termasuk kaum pemuda pemberani yang dengan tulus, jujur dan sepenuh hati mengabdi kepada Revolusi Agustus ’45 untuk mengusir kembali kaum kolonialis Belanda yang disokong imperialis AS.
Tindakan ini akhirnya menumpulkan sebagian besar kekuatan progresif rakyat yang terus melawan kembalinya Belanda ke Indonesia. Pasca provokasi Madiun, terjadi agresi militer Belanda II, Desember 1948. Serangan ini berhasil menduduki ibukota Negara Yogyakarta dan menahan pimpinan tertinggi Indonesia : Soekarno, Hatta, Sjahrir dan KH Agus Salim di bawah tawanan Kol. Van Langen.
Ibukota Indonesia dan Kota-kota lainnya boleh diduduki Belanda, akan tetapi kekuasaan Kolonial tidak pernah mampu menaklukkan desa dan pinggiran kota. Pasca pendudukan Belanda, Kaum tani di pinggiran kota dan di daerah pedesaan serentak tidak mau menjual bahan makanan termasuk beras ke kota. Uang NiCA tidak berlaku bagi rakyat dan kaum tani, yang berlaku hanyalah uang RI, aksi tersebut mengakibatkan Yogyakarta kekurangan bahan makanan. Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Semarang yang datang dengan diangkut konvoi bersama pengawalan yang sangat ketat. Kekuasaan Belanda hanya berlaku di kota, di samping terus melakukan perlawanan dengan tidak mau menjual hasil tani ke Belanda, kaum tani juga dengan sukarela menyediakan rumah mereka untuk pasukan gerilya RI. Kaum tani bahkan dengan gembira menyediakan bahan makanan bagi para pejuang kemerdekaan.
Disisi lain eks-eks tawanan peristiwa Madiun yang selamat tidak tinggal diam. Mereka membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap kaum aggressor Belanda, sehingga muncul kembali pasukan-pasukan rakyat bersenjata yang terus melanjutkan perang gerilya. Jumlah mereka semakin hari semakin besar, persenjataan juga semakin bertambah banyak. Senjata diperoleh dari pertempuran-pertempuran melawan patroli Belanda atau melecuti pasukan lain yang melarikan diri karena dikejar Belanda.
Pasukan ini muncul terutama di sekitar ibukota Jogjakarta, Kedu, Semarang (di daerah Salatiga), Pati, Surakarta (antaranya di kompleks Merapi-Merbabu), Madiun, Kediri (antaranya daerah Blitar Selatan dengan “batalyon Brantas”-nya), Malang (terutama di kompleks Gunung Kawi), dan lain-lainnya. Keistimewaan dari pasukan-pasukan rakyat ini, anggota-anggotanya mempunyai kesadaran politik yang tinggi dan pada umumnya berasal dari kaum tani, karena itu tidak heran jika mereka tidak pernah canggung bergerak di tengah-tengah massa luas.
Salah satu aktivitas dari pasukan rakyat ini adalah apa yang terjadi di sekitar Jogjakarta ketika Belanda sudah menduduki kota tersebut. Setelah sepuluh hari Belanda menduduki Jojga, Pasukan RI yang diperkuat pasukan dari laskar-laskar Rakyat mulai melancarkan serangan balasan pertamanya. Diantara laskar rakyat tersebut, pasukan-pasukan eks laskar pesindo juga turut serta, termasuk dalam serangan balasan 9 Januari 1949. Dalam kedua serangan balasan tersebut, pasukan Belanda dijangkiti kepanikan yang luar biasa. Pasukan-pasukan bersenjata RI bersama pasukan bersenjata rakyat berhasil menyerbu sampai ke tengah-tengah kota. Hal Ini diikuti kemudian dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang berhasil menduduki kembali ibukota Negara Yogyakarta selama 6 jam dan disiarkan ke luar negeri bahwa Republik Indonesia masih tegak berdiri.
Menghadapi perlawanan yang semakin luar biasa dari rakyat Indonesia, kaum imperialis dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan pemerintah RI yang terdiri dari komprador-komprador dengan memberikan konsesi-konsesi, atau memilih melanjutkan peperangan melawan kekuatan progresif Indonesia dan yang pasti akan melancarkan perang pembebasan sampai kemenangan terakhir dan Merdeka sepenuhnya, tidak peduli berapapun lamanya. Kaum imperialis tidak memiliki pilihan lain, selain yang pertama.
Tanggal 14 April 1949, di Jakarta diadakan perundingan antara Muhammad Roem dari Indonesia dan Van Royen atau dikenal dengan perundingan Roem-Royen. Tanggal 7 Mei 1949, lahir kesepakatan bersama bahwa Indonesia menghentikan perang gerilya, bersedia kerja sama untuk mengatur perdamaian dan keamanan serta bersedia mengadakan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda. Sebaliknya, pihak Belanda akan mengembalikan kekuasaan Republik Indonesia, membebaskan orang-orang yang ditawan sejak 17 Desember 1948 dan berjanji tidak akan mendirikan “negara-negara” baru di luar yang sudah didirikan sebelum perang kolonial kedua. Pertemuan ini tidak terlepas dari intervensi imperialis AS melalui Marle Cochran.
Nasehat-nasehat Cochran dalam pertemuan tersebut sangat menentukan hasil perundingan. Belanda sendiri pasca PD II mendapat bantuan dari AS dalam jumlah yang sangat besar. Tanpa bantuan sebesar $ 469.000.000 via Marshal Plan dan $ 140.000.000 dari World Bank, mustahil Belanda mampu memelihara pasukan yang begitu besar di Indonesia untuk melancarkan perang kolonial (Agresi) pertama dan kedua. Sementara pemerintah RI justru sibuk berilusi bahwa imperialis AS dalam menengahi sengketa Belanda-RI akan lebih berpihak pada RI, di lain sisi AS juga memberi iming-iming ke Indonesia bantuan materiil berupa bantuan keuangan.
Kemunduran besar bagi perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia dalam Revolusi Agustus ’45, terjadi ketika diselenggarakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Perjanjian KMB ditandatangani Belanda, RI dan 15 “negara” dan “daerah-daerah istimewa” boneka bentukan Belanda atau BFO (Bijenkomst Federale Overleg). Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia telah lahir suatu negara baru, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara baru ini mengadakan ikatan melalui Uni Indonesia-Kerajaan Belanda. Kepala Uni ini adalah ratu Belanda, Pemerintah Indonesia melalui Hatta justru menggembor-gemborkan hal tersebut sebagai “kemenangan besar”.
Akibat KMB, Indonesia dipaksa untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada kerajaan Belanda dan Negara Imperialis lainnya. Jumlah yang harus dibayar tidak kurang dari 4.300.000.000 Florin (Gulden) atau sama dengan $ 300.000.000, yang artinya Indonesia juga harus membayar biaya perang Belanda dalam agresi I dan II. Hal ini sama saja dengan membayar ongkos pemeliharaan tentara Belanda dalam upayanya menjajah dan menindas rakyat Indonesia.
Sesuai dengan perjanjian KMB, semua milik kaum modal asing (Belanda dan yang lain-lain, kecuali Jepang dan Jerman) tidak boleh diganggu gugat dan harus mendapatkan perlindungan sebaik-baiknya dari Indonesia. Milik kaum imperialis tersebut meliputi perusahaan-perusahaan perkebunan, berbagai macam pabrik, tambang pengangkutan, perbankan, pusat-pusat tenaga pembangkit listrik dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, pihak Indonesia dipaksa memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada modal monopoli asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia.
Perjanjian KMB hakekatnya pukulan balik yang mematikan bagi perjuangan pembebasan nasional rakyat Indonesia yang dilalui dengan tetesan darah, jiwa dan pengorbanan yang begitu besar. Kaum borjuasi komprador seperti Hatta dan Syahrir sesungguhnya telah mengkhianati cita-cita mulia Revolusi Agustus ’45. Tetapi Rakyat tidak pernah diam saja atas politik avonturir dan kapitulasionis Hatta-Syahrir yang sangat merugikan rakyat. Sejak dimulainya perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk mempersiapkan KMB dan sesudah perjanjian KMB dilaksanakan, banyak pendapat yang menentang bahkan memicu aksi-aksi perlawanan rakyat. Ketika persetujuan Roem-Royen diumumkan, sebuah surat kabar Jakarta (Harian Merdeka) menulis bahwa Indonesia telah menderita kekalahan dan kekalahan itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Untuk menjamin keamanan perusahaan-perusahaan modal monopoli asing di Indonesia, pemerintah membuat sebuah undang-undang perburuhan yang anti buruh lewat Menteri perburuhan Tedjakusuma. Kalangan buruh kala itu menyebutnya sebagai “Undang-undang Tedjakusuma”. Berdasarkan undang-undang tersebut, kaum buruh yang akan mengadakan aksi harus memberitahukan 3 minggu sebelumnya. Pemerintah berhak memperpanjang batas waktu ini dan mempunyai hak veto dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara buruh dan majikan. Panitia arbitrase yang dibentuk atas dasar “Undang-undang Tedjakusuma” lebih banyak berpihak kepada majikan daripada melindungi kepentingan buruh.
KMB juga menghadapi perlawanan keras dari kaum tani. Ketika Jepang menduduki Indonesia, banyak onderneming-onderneming asing yang diubah menjadi tanah garapan kaum tani sebagai milik mereka sendiri. Selama Revolusi Agustus ’45, perkebunan-perkebunan milik kolonial itu banyak yang berubah menjadi pedesaan-pedesaan dengan tanah ladang, jalur-jalur lalu lintas, gedung-gedung sekolah dan lain-lainnya. Ketika perkebunan-perkebunan asing harus dikembalikan, sudah barang tentu kaum tani tidak mau menyerahkannya. Timbullah persengketaan berdarah, karena tentara dan brigade mobil polisi (Brimob) bersenjata ditugaskan mengusir kaum tani. Muncullah peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat memilukan dan tragis bagi kaum tani, seperti di peristiwa Tanjung Morawa Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (Karesidenan Kediri, Jawa timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah Bandar Betsy (Aceh) dan lain-lainnya.
Kekecewaan juga dialami oleh kalangan pemuda. Upaya menyatukan kekuatan pemuda melalui Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), bubar tidak lama setelah KMB berjalan. Laskar pemuda PESINDO dihancurkan melalui peristiwa Madiun. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman pun kecewa dengan adanya KMB. Tatkala dirinya dan bala tentara bergerilya melawan kaum kolonial Belanda, dilakukan perjanjian yang merugikan tersebut.
Jelas sudah bahwa semangat Revolusi Agustus ’45 untuk mengenyahkan kolonialisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, ternyata telah dinodai oleh pengkhianatan para boneka imperialisme AS di dalam negeri yang diwakili klik Hatta-Sjahrir yang disokong kelompok Natsir dan kelompok avonturir Tan Malaka. Situasi buruk dari pelaksanaan KMB dan tentangan terhadap KMB yang meluas dari rakyat Indonesia, akhirnya memaksa Soekarno mengumumkan Indonesia kembali lagi kepada NKRI pada tahun 1950.
0 komentar:
Posting Komentar